KENDARI, KABAR MUSLIM– Di ruang sejuk UPTD Museum Kendari, warna-warna tinta, emas, dan cahaya bertemu dalam harmoni spiritual.
Delapan hari sudah pameran kaligrafi internasional yang digelar Jakarta Islamic Centre (JIC) berlangsung—delapan hari di mana huruf-huruf Arab, ayat-ayat suci, dan garis lengkung keindahan menjadi bahasa universal tentang kedamaian.
Lebih dari 8.000 pengunjung datang menyusuri ruang pamer. Ada yang melangkah perlahan di antara kanvas dan kaca, ada yang menatap dalam ke arah sapuan kuas yang memuliakan lafaz Allah dan Muhammad.
Ada pula yang hadir secara virtual, menatap keindahan itu dari layar ribuan kilometer jauhnya. Semua disatukan oleh pesona kaligrafi—seni yang lahir dari cinta, iman, dan ketekunan.
Diplomasi Lewat Keindahan
Di balik gemerlap pameran ini, ada misi yang jauh lebih dalam.
Sukri Kardjono, Kepala Divisi Sosial Budaya dan Ekonomi Syariah JIC, menyebut pameran tersebut bukan sekadar ajang estetika, melainkan diplomasi budaya Islam.
“Kami ingin meninggalkan jejak kebaikan. Lebih dari 60 karya kaligrafi seniman luar negeri akan kami hibahkan sebagai koleksi tetap museum ini,” ujar Sukri dalam sambutannya pada acara penutupan, Sabtu (18/10/2025).
Langkah ini bukan hanya simbol penghargaan terhadap seni, tetapi juga bentuk wakaf budaya—sebuah warisan yang akan terus hidup dan dinikmati oleh generasi mendatang.
Bagi JIC, setiap pameran adalah pertemuan antarperadaban. Setiap guratan tinta adalah doa dan diplomasi. Dari Kendari yang berangin laut hingga ke Kairo, Istanbul, atau Teheran, pesan yang dibawa tetap sama: Islam adalah keindahan yang mempersatukan.
Galeri dari Hati, untuk Dunia
Di setiap sudut ruangan, kaligrafi seolah berbicara dalam banyak bahasa. Ada karya bercorak thuluth yang megah dari Turki, ada kufi geometris dari Mesir, dan diwani lembut dari Indonesia.
“Setiap huruf adalah jembatan antara hati dan langit,” kata salah seorang pengunjung, seorang guru seni dari Kolaka, matanya masih berbinar setelah lama memandangi lukisan bertuliskan Bismillahirrahmanirrahim dalam sapuan tinta biru laut.
Antusiasme pengunjung menjadi kisah tersendiri. Orang-orang dari berbagai latar datang, dari pelajar hingga ulama, dari pelukis muda hingga wisatawan asing yang kebetulan singgah. Mereka bukan hanya melihat seni, tetapi merasakan ruh di baliknya.
Dari Kendari ke Dunia Islam
Ketua Panitia, Dipo Khairul, menegaskan bahwa keberhasilan ini akan menjadi pijakan menuju pameran berikutnya. Tahun depan, JIC berencana membawa semangat yang sama ke Jawa Tengah, melibatkan hingga 70 negara peserta.
“InsyaAllah, tahun depan akan lebih meriah. Kami ingin menjadikan kaligrafi sebagai medium persaudaraan antarbangsa,” ujarnya.
Program ini mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yang ingin menjadikan JIC sebagai ikon Islam modern yang inklusif dan mendunia.
Kolaborasi dengan lembaga seperti LEMKA, LESBUMI NU, dan LSB Muhammadiyah akan terus diperkuat untuk menciptakan kegiatan seni Islam yang berkelanjutan dan bermakna.
Warisan dari Tinta dan Iman
Kini, ketika lampu pameran mulai diredupkan dan kanvas kembali dibungkus, jejak cahaya dari pameran ini tak padam.
Ia tinggal di ingatan para pengunjung, di hati para seniman, dan di ruang-ruang museum yang kini menyimpan lebih dari enam puluh karya lintas negara—warisan yang akan terus berbicara tentang Islam yang indah, damai, dan berperadaban.
Di Kendari, kota pesisir yang kini mencatat sejarahnya sendiri dalam seni Islam, tinta bukan sekadar warna. Ia adalah doa yang menembus batas waktu (Wan)

