Ilustrasi pertemuan Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Sjahrir, Agus Salim dan Tan Malaka versi AI. Dok : Kabar Muslim.
JAKARTA, KABAR MUSLIM- Malam itu, udara Jakarta masih sarat aroma mesiu dan ketidakpastian. Republik Indonesia baru saja berumur kurang dari lima bulan, namun ancaman dari Belanda yang ingin kembali berkuasa terus membayangi. Di rumah sederhana milik Sukarno, lampu minyak menggantung temaram, menerangi sebuah pertemuan kecil namun penuh arti.
Di ruang tamu, empat tokoh bangsa duduk melingkar: Sukarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Agus Salim. Mereka berbincang mengenai republik yang baru lahir—tentang diplomasi, tentang cara menguatkan negara, tentang harapan rakyat kecil. Sesekali terdengar tawa kecil memecah ketegangan, seakan memberi jeda dari beban sejarah yang mereka pikul.
Namun tepat pukul 21.00 pada penanggalan 24 Januari 1946, ketukan pintu mengubah segalanya. Seorang tamu tak terduga melangkah masuk. Sosok itu adalah Ibrahim Datuk Sutan Malaka—yang lebih dikenal sebagai Tan Malaka.
Kejutan Malam Itu
Sejenak, suasana menjadi kikuk. Empat tokoh bangsa itu saling pandang, sadar bahwa yang datang adalah sosok kontroversial, seorang revolusioner internasional yang pernah bergerak di Belanda, Rusia, hingga Tiongkok, dan kini kembali menancapkan pijakan di tanah air.
Tan Malaka menyapa dengan hangat, dan setelah basa-basi singkat ia pun ikut dalam diskusi. Namun tak lama kemudian, perbedaan tajam pandangan mulai menyeruak. Jika Sukarno, Hatta, dan Sjahrir lebih condong ke jalur diplomasi dalam mempertahankan republik muda, Tan Malaka datang dengan visi berbeda: revolusi total.
“Merdeka 100%”
Dengan suara tegas, Tan Malaka melontarkan kritik yang membuat keempat sahabatnya terdiam: “Kepada kalian para sahabat, tahukah kalian kenapa aku tidak tertarik pada kemerdekaan yang kalian ciptakan…? Kita belum merdeka, karena merdeka haruslah 100 persen.”
Ia menuduh bahwa kemerdekaan yang baru diproklamasikan itu lebih banyak dinikmati kaum elite: pejabat, ambtenaar, dan mereka yang bertransformasi menjadi borjuis baru. Bagi Tan Malaka, rakyat jelata—para petani, buruh, dan pejuang di garis depan—masih jauh dari rasa merdeka.
“Hari ini aku masih melihat bahwa kemerdekaan hanyalah milik kaum elite… Bukan milik rakyat. Apabila kalian tidak segera memperbaikinya, maka bangsa ini tidak akan pernah merdeka.”
Dan akhirnya, ia menutup pernyataannya dengan ultimatum keras: “Esok adalah hari di mana aku akan menjelma menjadi musuh kalian, karena aku akan tetap berjuang untuk merdeka 100 persen.” seperti dikutip Kabar Muslim dari laman Kompasiana.
Keheningan dan Perpisahan
Kata-kata itu jatuh bagaikan palu. Sukarno menunduk, Hatta menatap serius, Sjahrir menarik napas panjang, sementara Agus Salim hanya terdiam. Malam yang awalnya hangat kini berubah menjadi dingin.
Tan Malaka, menyadari kerasnya ucapannya, akhirnya berpamitan. Ia meninggalkan rumah itu dengan langkah pasti, sementara di dalam rumah, keempat tokoh bangsa saling terdiam. Hanya Bung Karno yang akhirnya berucap lirih: “Kata-katanya sungguh menghinaku, meremehkan semangat kerakyatanku.”
Dua Jalan Menuju Merdeka
Pertemuan itu menjadi simbol benturan dua jalan besar menuju kemerdekaan:
-
Diplomasi & moderasi, yang dipilih Sukarno, Hatta, dan Sjahrir demi menjaga eksistensi republik di tengah tekanan internasional.
-
Revolusi total, yang diperjuangkan Tan Malaka, menolak kompromi, menuntut kemerdekaan penuh tanpa sisa kolonialisme sedikit pun.
Tak lama setelah pertemuan itu, konflik ideologi makin meruncing. Tan Malaka mendirikan Persatuan Perjuangan, seperti dikutip dari Wikipedia, Persatuan Perjuangan adalah sebuah gerakan yang menuntut pemerintah bersikap keras pada Belanda. Namun, langkah itu justru membuatnya ditangkap dan dipenjara oleh republik sendiri pada Maret 1946.
Warisan Malam Itu
Malam 24 Januari 1946 di rumah Sukarno hanyalah satu fragmen kecil dalam mosaik panjang perjuangan bangsa, namun percakapan itu mencerminkan ketegangan abadi dalam sejarah Indonesia: antara kompromi politik dan idealisme revolusioner.
Tan Malaka akhirnya gugur pada 1949 dalam sebuah eksekusi misterius, namun kalimatnya tentang “merdeka 100%” tetap hidup, menjadi pengingat bahwa kemerdekaan bukan hanya deklarasi, tetapi perjuangan panjang untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat (Wan).

