Maladewa, Negara Seribu Pulau Seratus Persen Muslim

Terkini Ummah

Ilustrasi ibu kota Maladewa (pixabay)

MALDIVES, KABAR MUSLIM– Di tengah Samudra Hindia, di antara riak air biru kehijauan yang memantulkan langit tropis, berdirilah sebuah negeri kecil bernama Maladewa (Maldives).

Negara yang berdiri diantara gugusan atol dan pulau karang ini, tak hanya menyimpan keindahan surgawi sekaligus kisah spiritual yang unik di dunia Islam.

Bagi wisatawan, Maladewa adalah simbol kemewahan laut: vila terapung, pasir putih selembut sutra, dan terumbu karang yang berkilau.

Namun di balik panorama eksotis itu, tersimpan fakta yang jarang diketahui: Maladewa adalah satu-satunya negara di dunia yang seluruh penduduknya beragama Islam.

Jejak Islam di Tengah Samudra

Menurut penelitian Pew Research Center dan The Royal Islamic Strategic Studies Centre (RISSC), sekitar 99,41% dari 395 ribu penduduk Maladewa adalah Muslim.

Bahkan dalam konstitusi negara, disebutkan bahwa “warga negara Maladewa harus beragama Islam.” Tidak ada pilihan lain.

Islam pertama kali tiba di kepulauan ini pada abad ke-12, dibawa oleh para pedagang Arab yang singgah di jalur pelayaran Samudra Hindia—jalur yang kala itu menghubungkan Timur Tengah dengan Nusantara.

Kisah yang paling sering diceritakan menyebutkan nama Abu al-Barakat Yusuf al-Barbari, seorang ulama dari Afrika Utara yang berhasil mengislamkan Raja Dhovemi sekitar tahun 1153 M. Sejak saat itu, seluruh kerajaan dan rakyat Maladewa memeluk Islam.

“Islam di sini bukan sekadar agama,” tulis peneliti lokal Muhammad Jamil dalam risetnya Divehi as Heu Nubai. “Ia adalah identitas, hukum, dan jantung kebangsaan.”

Negeri yang Menjaga Akidah

Di ibu kota Male, suara azan lima waktu menggema di antara gedung modern dan pasar nelayan. Tidak ada gereja, kuil, atau rumah ibadah lain di seluruh negeri.

Hukum syariah menjadi dasar konstitusi. Setiap warga negara harus Muslim, dan pemerintah melarang penyebaran agama lain di wilayahnya — sebagaimana diatur dalam Konstitusi Maladewa tahun 2008.

Namun, aturan ini hanya berlaku bagi warga lokal.

Para wisatawan dan pekerja asing—sekitar 700 ribu orang per tahun, menurut UN Tourism (2024)—tetap diperbolehkan menjalankan ibadah pribadi sesuai keyakinannya, selama tidak melibatkan masyarakat setempat.

Islam dan Alam: Dua Napas Kehidupan

Menariknya, keislaman Maladewa berpadu harmonis dengan alamnya. Penduduk lokal meyakini bahwa menjaga laut adalah bagian dari amanah ilahi.

“Kami diajarkan untuk tidak berlebihan dalam mengambil dari laut,” kata Aishath, seorang seniman kaligrafi di atol Ari, saat diwawancarai Al Jazeera (2023).

“Bagi kami, setiap terumbu karang adalah ciptaan Allah yang harus dijaga.”ujarnya.

Keseimbangan antara spiritualitas dan ekologi ini pula yang membuat Maladewa menjadi simbol Islam yang ramah lingkungan—di mana keimanan tumbuh bersama kesadaran ekologis.

Bangga Menjadi Negeri Islam

Menteri Negara Urusan Islam Maladewa, Mohamed Shaheem Ali Saeed, menegaskan dalam wawancara dengan The Islamic World Review, bahwa “Maladewa bukan hanya negara Muslim, tapi juga benteng Islam di tengah samudra.”tuturnya.

Setiap anak di Maladewa wajib belajar membaca Al-Qur’an di sekolah. Bulan Ramadan menjadi festival nasional; seluruh aktivitas ekonomi menyesuaikan waktu ibadah.

Bagi warga Maladewa, menjadi Muslim bukan sekadar statistik. Ini adalah bentuk kesetiaan pada sejarah, keyakinan, dan kedaulatan spiritual mereka.

Sebuah Cermin di Tengah Samudra

Di dunia yang semakin plural dan cair, Maladewa tampil bak cermin kecil yang memantulkan kesetiaan pada satu keyakinan.

Di antara desir angin laut dan gema azan yang menyapu atol, negeri ini membisikkan pesan abadi: bahwa Islam bisa hidup damai di tengah keindahan alam, tanpa kehilangan jati diri.

“Laut kami luas, tapi hati kami terikat pada satu Tuhan,” kata seorang nelayan tua di atol Huvadhu.

“Itulah yang membuat Maladewa berbeda.”tandasnya (Wan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *