Ilustrasi santri sedang beraktivitas di lingkungan pesantren. Dok : Kabar Muslim/Gemini.
JAKARTA, KABAR MUSLIM- Setiap tanggal 22 Oktober, gema selawat dan takbir bergema di pesantren-pesantren seantero Nusantara.
Santri-santri berpawai dengan sarung, peci, dan spanduk bertuliskan “Santri Siaga Jiwa Raga untuk Negeri”. Tapi tahukah kita, mengapa tanggal itu dijadikan Hari Santri Nasional?
Kisahnya berakar dari masa paling genting dalam sejarah republik muda—ketika fatwa jihad berkumandang dari Surabaya pada 22 Oktober 1945.
Fatwa dari Tebuireng: Saat Santri Bangkit Membela Tanah Air
Beberapa bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan, pasukan Sekutu yang diboncengi Belanda mendarat di Indonesia.
Di Jawa Timur, mereka menuntut agar Indonesia menyerah dan mengakui kedaulatan Belanda. Di tengah situasi mencekam itu, para ulama Nahdlatul Ulama (NU) berkumpul di Surabaya.
Tokoh sentralnya adalah Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, pendiri NU dan pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang. Dalam pertemuan ulama yang dikenal sebagai Resolusi Jihad, beliau mengeluarkan seruan tegas:
“Berperang menolak dan melawan penjajah itu fardhu ‘ain bagi setiap Muslim yang berada dalam jarak 94 kilometer dari tempat masuknya musuh.”
Fatwa itu disebarkan ke seluruh Jawa dan Madura melalui jaringan kiai dan pesantren. Para santri pun berduyun-duyun menuju Surabaya.
Mereka bukan tentara terlatih, tapi berbekal keyakinan dan bambu runcing, mereka menjadi garda terdepan pertempuran 10 November 1945 — yang kelak dikenal sebagai Hari Pahlawan.
Santri: Jiwa Spiritual dalam Revolusi
Dalam riset sejarawan Prof. Ahmad Mansur Suryanegara (dalam Api Sejarah, 2010), disebutkan bahwa tanpa fatwa jihad dari kalangan ulama dan mobilisasi santri, semangat perlawanan rakyat di Surabaya tak akan sekuat itu.
Para santri tak hanya bertempur dengan senjata, tapi juga dengan doa, zikir, dan semangat tauhid.
“Bagi santri, mempertahankan tanah air bukan sekadar nasionalisme, tapi bagian dari iman,” tulisnya.
Dari Resolusi ke Pengakuan Negara
Butuh waktu tujuh dekade hingga jasa para santri diakui secara resmi oleh negara.
Pada 22 Oktober 2015, Presiden Joko Widodo menetapkan tanggal itu sebagai Hari Santri Nasional melalui Keputusan Presiden No. 22 Tahun 2015.
Penetapan ini bukan semata penghargaan historis, tapi juga simbol pengakuan terhadap kontribusi pesantren dan kaum santri dalam perjalanan bangsa—dari masa perjuangan, kemerdekaan, hingga pembangunan moral dan sosial.
Dalam sambutannya saat peresmian, Presiden Jokowi ketika itu berkata:
“Hari Santri bukan hanya mengenang masa lalu, tapi mengingatkan kita bahwa nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan tumbuh dari pesantren.”
Santri Zaman Now: Dari Sorban ke Startup
Kini, santri tak hanya dikenal di bilik-bilik pengajian atau majelis taklim. Mereka juga hadir di ruang digital, startup teknologi, dunia pendidikan, hingga diplomasi internasional.
Menurut data Kementerian Agama (2024), Indonesia memiliki lebih dari 40 ribu pesantren dengan 5 juta santri aktif. Banyak di antara mereka telah mengembangkan ekonomi pesantren, santripreneur, dan program digitalisasi kitab kuning.
Seperti dikatakan KH. Ma’ruf Amin, “Santri hari ini harus menjadi penggerak peradaban, bukan hanya penjaga tradisi.”
Makna Hari Santri: Antara Doa dan Tanggung Jawab
Hari Santri bukan sekadar seremonial. Ia adalah pengingat tanggung jawab moral bahwa kemerdekaan negeri ini juga lahir dari lantunan doa dan perjuangan kaum bersarung.
Spirit jihad yang dulu membakar Surabaya kini harus diterjemahkan dalam bentuk baru: jihad melawan kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan.
Karena, seperti pesan KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim:
“Ilmu dan amal adalah dua sayap yang akan membawa manusia kepada kemuliaan.”
Setiap kali azan berkumandang di pesantren dan para santri menundukkan kepala dalam sujud, di sanalah getar sejarah Hari Santri tetap hidup.
Ia bukan sekadar peringatan tahunan, tapi napas panjang perjalanan Islam Nusantara—dari jihad fisik menuju jihad intelektual, dari perjuangan bersenjata menuju perjuangan mencerdaskan bangsa (Wan)
Sumber :
- Arsip Resolusi Jihad NU, 1945 – PBNU.org
- Keputusan Presiden No. 22 Tahun 2015
- Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, Bandung: Salamadani, 2010
- Kementerian Agama RI, Data Pesantren 2024
- Kompas.com (22/10/2023) “Hari Santri: Sejarah dan Maknanya Bagi Indonesia”

