JAKARTA, KABAR MUSLIM — Di tengah hiruk-pikuk ibukota yang terus berubah, ada sebuah kisah kecil yang pernah menghentakkan hati Gubernur Jakarta, Ali Sadikin.
Ia terperanjat ketika mendengar kabar bahwa Mohammad Hatta — proklamator, wakil presiden pertama, dan salah satu arsitek kemerdekaan bangsa — bahkan kesulitan membayar iuran air PAM.
Kabar itu bukanlah soal politik, melainkan cerita kemanusiaan yang sederhana sekaligus memilukan.
Bagi banyak orang, nama Bung Hatta lekat dengan pidato berapi, debat ideologi, atau cetak biru ekonomi nasional. Namun ketika lampu-lampu kota berpendar, di sebuah rumah sederhana ia justru menimbang-nimbang tagihan listriknya. Sejarah yang biasanya tampak megah mendadak terasa sangat manusiawi.
Kisah inilah yang mendorong Ali Sadikin bergerak cepat. Sang gubernur melobi DPRD DKI agar Bung Hatta ditetapkan sebagai warga kota utama, sebuah status yang membebaskannya dari iuran air dan Pajak Bumi Bangunan. Pemerintah pusat kemudian menambahkan penghormatan dengan membebaskan biaya listrik. Langkah sederhana itu menjadi bentuk penghormatan nyata kepada seorang tokoh bangsa.
Jejak Kesederhanaan: Mesin Jahit dan Sepatu Bally
Kesederhanaan Bung Hatta tak berhenti di soal tagihan. Ada dua kisah kecil yang begitu melekat dalam ingatan bangsa.
Pertama, tentang mesin jahit. Rahmi, istri Bung Hatta, pernah menabung untuk membeli sebuah mesin jahit. Namun kondisi ekonomi keluarga dan kebijakan sanering kala itu membuat impian sederhana itu tak pernah terwujud. Kisah ini bukan sekadar barang yang tak terbeli, melainkan cermin rumah tangga seorang negarawan yang menempatkan kepentingan publik di atas kenyamanan pribadi.
Kisah kedua bahkan lebih legendaris: sebuah guntingan iklan sepatu Bally. Bung Hatta menyimpannya dengan rapi di dompet dan arsip pribadinya, tetapi sepatu itu tak pernah ia beli hingga akhir hayat. Guntingan itu kemudian ditemukan kembali, menjadi simbol hasrat kecil yang ia biarkan tak terpenuhi demi hidup lurus dan jujur.
Pensiun Tipis, Martabat yang Tegak
Bukan mitos: arsip menunjukkan bahwa tunjangan dan pensiun para tokoh negara pada masa itu relatif kecil. Fakta inilah yang menjelaskan mengapa cerita tentang kesulitan Hatta membayar listrik dan air bisa benar-benar terjadi.
Namun Hatta memilih jalan yang berbeda. Ia menolak segala celah untuk memperkaya diri, meski kesempatan terbuka lebar. Martabatnya tetap utuh, bahkan ketika isi dompetnya tipis.
Integritas Sebagai Jalan Hidup
Dari surat, pidato, hingga catatan hariannya, tergambar jelas pola pikir seorang idealis. Bung Hatta meyakini, uang negara harus kembali ke negara bila memang tidak dipakai. Prinsip sederhana, namun kini terasa langka.
Kesederhanaan baginya bukan sekadar gaya hidup, melainkan etika publik. Menutup peluang sekecil apa pun untuk korupsi, menjaga independensi moral dari godaan kekayaan instan. Untuk generasi berikutnya, ini adalah pelajaran keras, namun penuh kejujuran.
Warisan di Tengah Ironi Modern
Kini, ketika kita menatap Jakarta dengan mal megah, gedung perkantoran, dan proyek miliaran rupiah, kisah Bung Hatta hadir sebagai jeda yang menyentuh.
Seorang proklamator yang menolak jalan pintas menuju kekayaan pribadi demi menjaga martabat publik adalah cermin yang sering kita abaikan. Ali Sadikin, dengan kepeduliannya, membuktikan bahwa penghormatan terhadap jasa tak selalu diwujudkan lewat upacara kenegaraan. Kadang, penghormatan itu sesederhana meringankan beban tagihan air, agar seorang Bapak Bangsa bisa hidup dengan tenang dan tanpa rasa malu.
Sumber:
-
Merdeka: Liputan kisah Hatta tak mampu membayar iuran air PAM
-
VOI: Catatan tindakan Ali Sadikin menjadikan Bung Hatta warga kota utama
-
ACLC KPK & Faisal Basri: Kisah sepatu Bally dan guntingan iklan yang ditemukan kembali
-
Arsip Nasional & Wikipedia: Dokumentasi terkait angka pensiun pejabat negara
-
DJPB Kemenkeu: Catatan nilai-nilai etika Bung Hatta

