Haji Agus Salim, Sang Guru dalam Rumahnya Sendiri

Cendekia Hijrah Terkini

JAKARTA, KABAR MUSLIM– Di sebuah rumah sederhana di kawasan Tanah Tinggi, Jakarta, pada dekade 1920-an, kehidupan keluarga Haji Agus Salim berjalan dengan ritme yang khas.

Rumah kayu itu tidak luas, berdiri di antara lorong-lorong sempit yang ramai oleh pedagang kaki lima dan anak-anak bermain layangan. Dari jendela yang terbuka, kerap terdengar suara riuh anak-anak bercampur percakapan dalam bahasa Belanda—bukan suara guru di kelas, melainkan suara sang ayah yang mendidik mereka langsung di rumah.

Agus Salim, tokoh pejuang kemerdekaan dan pergerakan nasional yang dikenal cerdas dan fasih berdebat dengan diplomat asing, membuat keputusan berani: ia tidak menyekolahkan anak-anaknya. Di tengah masyarakat yang menganggap sekolah Belanda sebagai simbol kemajuan, Salim justru memilih jalan berbeda.

Belajar di Ruang Tamu

Mohamad Roem, sahabat dan murid politik Salim, masih mengingat jelas kunjungannya pada 1925. Rumah Salim dipenuhi aroma kopi hitam yang baru diseduh, buku-buku menumpuk di meja, dan anak-anak berlarian di sekitar kursi rotan. Tidak ada papan tulis, tidak ada jadwal pelajaran, tidak ada seragam. Namun, atmosfer rumah itu seperti sebuah sekolah hidup.

Syauket, putra Salim yang kala itu baru berusia empat tahun, dengan lincah berbicara bahasa Belanda. Rahasianya sederhana: sejak bayi dalam gendongan, ayahnya telah berkomunikasi dengannya dalam bahasa asing itu. “Saya akan mendidik anak-anak saya sendiri,” begitu tekad Salim.

Bagi Roem, yang terbiasa dengan sistem pendidikan kolonial, pemandangan itu terasa janggal sekaligus mengesankan. Belajar tidak berlangsung di ruang khusus, melainkan hadir di setiap percakapan, permainan, bahkan canda tawa keluarga.

Totok dan Mahabharata

Suatu sore, saat Roem mengikuti kursus di ruang tamu Salim, pandangannya tertuju pada seorang bocah kecil yang asyik tenggelam dalam sebuah buku tebal berbahasa Belanda. Bocah itu adalah Totok, yang baru berusia sepuluh tahun.

Usai kursus, Roem menghampirinya dengan rasa penasaran. Ternyata Totok tengah membaca Mahabharata. Dengan antusias, ia menjelaskan adegan ketika Kresna mengajarkan Arjuna cara memanah, lengkap dengan rincian percakapan tokoh-tokohnya. Penjelasannya runtut, tajam, dan fasih—seolah ia bukan sekadar membaca, tetapi benar-benar memahami inti cerita.

Roem tertegun. Lebih mengejutkan lagi, ia kemudian mendapati Dolly—putra Salim yang berusia lima belas tahun—dan Totok yang baru sepuluh, telah menguasai literatur setara anak-anak AMS (sekolah menengah Belanda elit). Semua itu mereka capai tanpa pernah duduk di bangku sekolah formal.

Pendidikan yang Menghidupkan

Rumah Tanah Tinggi itu sejatinya adalah ruang kelas yang cair, tanpa batas antara bermain dan belajar. Buku-buku klasik, percakapan sehari-hari, dan diskusi ringan menjadi sarana pendidikan. Salim tidak hanya menyalurkan pengetahuan, tetapi juga menyalakan rasa ingin tahu anak-anaknya.

Baginya, pendidikan bukan soal mengejar ijazah, melainkan membentuk pikiran merdeka. Anak-anaknya tumbuh dengan kebebasan intelektual, fasih berbahasa asing, dan terbiasa berpikir kritis—sebuah bekal yang jauh melampaui sistem pendidikan kolonial saat itu.

Warisan di Balik Panggung Politik

Sejarah mengenang Haji Agus Salim sebagai diplomat brilian, negosiator ulung, dan tokoh bangsa yang disegani dunia. Namun, di balik panggung besar itu, ia juga meninggalkan warisan tak tertulis: sebuah eksperimen pendidikan keluarga yang menantang arus zaman.

Di rumah kayu Tanah Tinggi, di antara aroma kopi, tumpukan buku, dan tawa anak-anaknya, lahirlah sebuah metode belajar yang organik, menyatu dengan kehidupan, dan mungkin lebih revolusioner daripada gagasan politiknya sendiri.

Pendidikan ala Haji Agus Salim bukan sekadar proses belajar, melainkan seni menghidupkan pengetahuan di tengah kehidupan sehari-hari. Sebuah warisan senyap, tetapi abadi (Wan).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *