Dari Yogyakarta ke Istana Merdeka, Jejak Panjang Lahirnya Paskibraka

Cendekia Terkini

Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) pada HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke 80 di Istana Merdeka, Jakarta. Foto : Setpres.

JAKARTA, KABAR MUSLIM– Di halaman Gedung Agung Yogyakarta, pagi 17 Agustus 1946 terasa begitu berbeda. Kota kecil yang kala itu menjadi ibu kota Republik Indonesia tengah bersiap merayakan ulang tahun pertama kemerdekaan.

Di tengah ancaman kembalinya Belanda bersama Sekutu, Soekarno tetap bersikeras: bendera Merah Putih harus berkibar gagah di langit Yogya.

Sang Presiden pun memanggil ajudannya, Mayor Laut H. M. Husein Mutahar—nama yang kelak lekat dengan tradisi pengibaran bendera. Seperti dikutip dari Indonesia.go.id, Mutahar diberi amanah: menyiapkan pasukan pengerek Merah Putih untuk upacara detik-detik proklamasi.

Lima Pemuda, Lima Sila

Mutahar membayangkan upacara itu dilaksanakan oleh para pemuda-pemudi utusan dari seluruh penjuru Nusantara, sebagai simbol kesatuan bangsa. Namun situasi tak memungkinkan. Transportasi terganggu, penjajahan belum usai, dan garis pertempuran masih membelah negeri.

Akhirnya, ia hanya bisa menghadirkan lima orang yang kebetulan sedang berada di Yogyakarta: tiga pemuda dan dua pemudi dari latar belakang berbeda. Formasi kecil itu dipilih bukan tanpa alasan. Lima sosok itu melambangkan lima sila dalam Pancasila—falsafah yang menjadi dasar berdirinya republik.

Sejak hari itu, setiap upacara di Yogyakarta hingga tahun 1949 selalu menghadirkan “Pasukan Pengerek Bendera” dengan formasi lima orang. Sebuah tradisi sederhana, namun sarat makna.

Dari Yogya ke Jakarta

Ketika ibu kota kembali ke Jakarta pada 1950, tradisi pengibaran Merah Putih ikut pindah ke halaman Istana Merdeka. Bedanya, kali ini jumlah pasukan lebih banyak, diambil dari pelajar dan mahasiswa Jakarta. Upacara tahunan itu perlahan menjadi simbol kebangsaan.

Baru pada 1967, seperti dilansir laman resmi Paskibraka, Mutahar mengusulkan sebuah formasi baru: 17 pengiring, 8 inti, dan 45 pengawal—angka yang langsung mengingatkan pada 17-8-1945, hari lahir bangsa. Formasi ini mulai dijalankan, meski awalnya masih terbatas pada pelajar dari Jakarta.

Tahun 1968, beberapa provinsi mulai mengirim wakilnya, meski belum lengkap. Momentum sesungguhnya datang pada 1969, ketika duplikat Bendera Pusaka untuk pertama kali digunakan. Sejak itu, semua provinsi diwajibkan mengirim sepasang pemuda dan pemudi terbaiknya ke Jakarta, sebuah tradisi yang terus berlangsung hingga hari ini.

Lahirnya Nama “Paskibraka”

Istilah Pasukan Pengerek Bendera akhirnya berganti menjadi Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) pada 1973. Nama ini mengabadikan sejarah panjang sejak lima pemuda pertama di Yogyakarta hingga formasi besar di ibu kota negara.

Di balik itu semua, ada sosok Husein Mutahar—bukan hanya seorang perwira, tetapi juga seniman. Dialah pencipta lagu “Hari Merdeka” yang hingga kini lantang dinyanyikan tiap 17 Agustus, serta “Syukur” yang meresap ke lubuk hati bangsa.

Sebuah Warisan

Setiap kali Merah Putih perlahan ditarik ke puncak tiang di Istana Merdeka, gema sejarah seakan kembali terdengar. Dari lima orang sederhana di Yogyakarta, kini menjadi pasukan elit putra-putri terbaik bangsa. Paskibraka bukan sekadar barisan pengibar bendera, melainkan simbol persatuan, pengorbanan, dan cita-cita Indonesia (Wan).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *