Bung Karno ketika membacakan teks proklamasi 17 Agustus 1945 yang mendanai Indonesia telah merdeka dari penajahan. Foto : Ist.
JAKARTA, KABAR MUSLIM– Malam itu, 15 Agustus 1945, suasana di rumah sederhana di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta, begitu tegang.
Di luar, kota masih dikuasai tentara Jepang yang gelisah menanti kekalahan. Di dalam rumah, sejumlah pemuda dengan mata menyala mendesak Bung Karno mengambil keputusan besar.
“Sekarang, Bung. Sekarang! Malam ini juga!” teriak Chaerul Saleh penuh semangat.
“Kita harus segera merebut kekuasaan!” timpal Sukarni Kartodiwirjo.
Bung Karno, dengan wajah letih tapi tetap tenang, menatap mereka. Ia baru saja pulang dari kediaman Laksamana Maeda, tempat ia mendengar kabar bahwa Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada 14 Agustus.
Tetapi bagi Bung Karno dan Bung Hatta, proklamasi tidak boleh gegabah. Mereka menginginkan jalur resmi lewat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Para pemuda menolak. Mereka yakin PPKI hanyalah buatan Jepang, dan takut proklamasi dianggap hadiah dari penjajah. Bagi mereka, kemerdekaan harus lahir murni dari rakyat. Ketegangan mencapai puncak ketika malam kian larut.
Menuju Rengasdengklok
Pukul 03.00 dini hari, 16 Agustus 1945 seperti dikutip dari Wikipedia, keputusan diambil. Bung Karno, Bung Hatta, bahkan Fatmawati dan Guntur kecil, “diculik” para pemuda ke sebuah desa kecil di Karawang: Rengasdengklok.
Di tengah sawah dan udara pedesaan yang dingin, para pemimpin bangsa itu dipaksa merenungkan nasib negeri. Rengasdengklok dipilih karena jauh dari pusat kekuasaan Jepang, lebih aman untuk merancang masa depan bangsa.
“Di dalam mobil Fiat hitam kecil, Bung Hatta sudah duduk lebih dulu,” kenang Fatmawati suatu ketika. “Saya menggendong Guntur yang masih bayi. Bung Karno tampak lelah, tapi matanya tetap menyala.”
Sementara di Jakarta, Achmad Soebardjo berusaha menegosiasikan jalan tengah. Menjelang tengah malam, ia datang menjemput kedua tokoh bangsa itu kembali ke ibu kota.
Malam Panjang di Rumah Laksamana Maeda
Perjalanan kembali membawa mereka ke Jalan Imam Bonjol No. 1, rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda. Hubungan para nasionalis dengan Maeda cukup dekat; ia menjadi mediator penting di antara tokoh Indonesia dan Jepang.
Di rumah berarsitektur Belanda itu, 29 tokoh berkumpul. Ada Soekarno, Hatta, Achmad Soebardjo, Sukarni, Ki Hajar Dewantara, hingga BM Diah. Maeda sendiri memilih naik ke lantai atas, memberi ruang bagi para nasionalis untuk berunding.
Hening malam ditembus oleh bunyi pena di atas kertas. Soekarno, Hatta, dan Soebardjo menulis sebuah kalimat yang kelak akan mengubah sejarah dunia. Naskah proklamasi lahir dari meja sederhana di ruang tamu itu, lalu disempurnakan oleh tangan seorang jurnalis muda, Sajoeti Melik, yang mengetiknya dengan mesin tulis.
Beberapa kata diubah. “Tempoh” menjadi “tempo.” “Wakil-wakil bangsa Indonesia” diganti menjadi “Atas nama bangsa Indonesia.” Naskah tulisan tangan Soekarno sempat terbuang di tong sampah, namun diselamatkan BM Diah—dokumen yang kelak menjadi pusaka sejarah.
Pukul 03.00 dini hari, 17 Agustus 1945, naskah itu rampung. Bung Karno dan Bung Hatta menandatanganinya di atas sebuah piano. Bendera merah putih telah dijahit Fatmawati. Semuanya siap.
Pagi Proklamasi
Matahari pagi, 17 Agustus 1945, Jakarta masih seperti biasa. Tentara Jepang berjaga, sebagian besar rakyat belum tahu apa yang akan terjadi.
Di Jalan Pegangsaan Timur 56, Bung Karno terbaring demam malaria. Pukul 08.00, dua jam sebelum acara, ia masih beristirahat. “Saya greges,” keluhnya kepada Fatmawati. Tetapi pukul 09.00 ia bangkit, mengenakan kemeja dan celana putih bersih, tanda kesakralan hari itu.
Tepat pukul 10.00, halaman rumah kecil itu menjadi saksi lahirnya sebuah bangsa. Bung Karno, dengan suara lantang meski tubuhnya lemah, membacakan teks proklamasi. Bung Hatta berdiri di sampingnya.
Hening. Lalu, air mata tumpah. Sorak sorai bergema. Bendera Merah Putih perlahan naik ke langit pagi, dikibarkan oleh Latief Hendraningrat. Lagu Indonesia Raya berkumandang, tanpa iringan musik, hanya suara rakyat yang pecah dari dada penuh harap.
Sesudah itu, Bung Karno kembali ke kamarnya, tubuhnya masih digerogoti demam. Tapi senyum kecil menghiasi wajahnya. Sebuah bangsa baru lahir.
Indonesia Merdeka
Detik-detik itu—dari Pegangsaan Timur, Rengasdengklok, rumah Maeda, hingga pagi 17 Agustus—menjadi mozaik paling berharga dalam sejarah Indonesia. Para pendiri Indonesia bukan hanya menulis teks, tetapi menulis takdir bangsa.
Dan dari sana, dengan kata sederhana namun menggetarkan dunia:
“Proklamasi…”
Sebuah negara berdiri. Indonesia merdeka. 🇲🇨 Dirgahayu Republik Indonesia. Merdeka! Merdeka! Merdeka! (Wan)

