Riyadh, 25 Maret 1975 — Sebuah pagi yang tenang berubah menjadi tragedi yang mengguncang dunia Arab.
Udara gurun masih dingin ketika sinar matahari menembus dinding istana Al-Yamamah di Riyadh.
Di aula besar berkarpet Persia, Raja Faisal bin Abdulaziz Al Saud, pemimpin yang dikenal sederhana dan saleh, bersiap menyambut delegasi minyak dari Kuwait. Tak ada yang menduga pagi itu akan menjadi yang terakhir bagi raja ketiga Arab Saudi.
Di sisi lain ruangan, Syekh Ahmed Zaki Yamani — Menteri Perminyakan dan salah satu tangan kanan raja — berdiri di dekatnya, mencatat poin-poin pertemuan yang akan dibahas. Suasana hening seketika berubah ketika pintu kayu besar terbuka. Seorang pria muda melangkah masuk — Pangeran Faisal bin Musaed, keponakan sang raja.
Ketika raja mengulurkan tangan, sebuah senyum hangat muncul di wajahnya. “Marhaban,” sapanya lembut, bermaksud memeluk keponakannya.
Namun, detik berikutnya, suara ledakan kecil memecah keheningan istana.Tiga peluru menembus kepala sang raja.
“Ayahku berteriak, hanya satu kata: bencana!”
Kenangan itu masih membekas di benak Dr. Mai Yamani, putri Syekh Yamani. Dalam wawancara dengan BBC Witness History, ia menggambarkan hari itu sebagai “hari paling gelap” dalam hidupnya. Ayahnya yang biasanya tenang tiba-tiba pulang dengan wajah pucat dan mata kosong.
“Dia berteriak, ‘bencana!’ lalu menangis tanpa suara,” ujar Mai. Ia tahu sesuatu yang tak terbayangkan baru saja terjadi.
Syekh Yamani, saksi mata kejadian itu, berdiri hanya beberapa langkah dari raja saat peluru dilepaskan.
Ia berusaha menenangkan para pengawal agar tidak membunuh si penembak di tempat, sebuah keputusan yang membuatnya dikenal sebagai simbol kesabaran dan keadilan.
Namun, meski dilarikan ke rumah sakit dengan cepat, Raja Faisal menghembuskan napas terakhir sebelum tengah hari. Jalan-jalan di Riyadh menjadi sunyi.Bendera-bendera diturunkan setengah tiang.
Raja Reformis yang Menantang Zaman
Raja Faisal bukan sekadar pemimpin; ia adalah arsitek modernisasi Arab Saudi. Putra ketiga pendiri kerajaan, Abdulaziz Al Saud, ini dikenal tegas, religius, dan visioner.
Di bawah kepemimpinannya, pendidikan modern diperkenalkan, termasuk sekolah perempuan pertama di Jeddah pada 1956 — Dar Al Hanan, yang didirikan istrinya, Ratu Iffat.
“Raja Faisal meyakinkan para ulama bahwa perempuan terdidik akan menjadi ibu yang lebih baik,” kata Mai Yamani.
Namun, modernisasi ini tak selalu disambut hangat. Pada 1960-an, saat ia mendirikan stasiun televisi pertama di Arab Saudi, kaum konservatif menentang keras.
Ironisnya, salah satu penentang bersenjata dalam insiden itu adalah saudara dari Pangeran Faisal bin Musaed — orang yang kelak menembak sang raja.
Minyak, Kekuatan, dan Perlawanan
Pada dekade 1970-an, Raja Faisal memainkan peran monumental dalam geopolitik global. Ia memimpin embargo minyak tahun 1973 terhadap negara-negara Barat yang mendukung Israel dalam Perang Yom Kippur. Langkah ini membuat harga minyak dunia melonjak empat kali lipat dan mengubah peta kekuatan ekonomi dunia.
Majalah Time menobatkannya sebagai Man of the Year 1974 — simbol kebangkitan dunia Arab dari ketergantungan terhadap Barat.
“Yang kami inginkan hanyalah keadilan bagi Palestina,” ujar Syekh Yamani mewakili kerajaan dalam wawancara dengan BBC saat itu.
Tragedi di Tengah Kemegahan
Mengapa sang pangeran membunuh pamannya? Jawabannya tak pernah jelas. Laporan resmi menyebut ia mengalami gangguan jiwa.
Namun rumor lain menyebut motif balas dendam atas kematian kakaknya dalam bentrokan dengan pasukan kerajaan pada 1966.
Hanya tiga bulan setelah tragedi itu, Pangeran Faisal bin Musaed dieksekusi di alun-alun Riyadh.
Ribuan warga menyaksikan prosesi hukuman pancung — simbol berakhirnya satu era dan dimulainya babak baru dalam sejarah Arab Saudi.
Warisan Sang Raja
Faisal meninggalkan warisan besar: keberanian menentang dominasi asing, dedikasi pada pendidikan, dan upaya memadukan iman dengan kemajuan.
Dalam pemakamannya, hadir tokoh-tokoh besar dunia: Presiden Mesir Anwar Sadat, pemimpin PLO Yasser Arafat, hingga Raja Khalid yang menggantikannya di takhta.
“Riyadh hari itu sunyi,” tulis The New York Times dalam laporan arsipnya. “Namun dalam keheningan itu, nama Faisal bergema — bukan hanya di padang pasir Arab, tetapi di hati dunia Islam.”
Kini, 50 tahun setelah tragedi itu, kisah Raja Faisal tetap menjadi pelajaran tentang kekuasaan, pengorbanan, dan keberanian menantang arus zaman.
Dalam catatan sejarah modern Timur Tengah, darah yang tertumpah di istana Riyadh menjadi pengingat bahwa idealisme dan perubahan sering kali menuntut harga paling mahal: nyawa seorang raja (Wan).
Sumber Referensi:
– BBC News Indonesia, “Kisah Raja Faisal dari Arab Saudi yang Dibunuh Saat Ingin Memeluk Keponakannya,” Witness History Series, 2024.
– Time Magazine Archives (edisi Januari 1974), “Man of the Year: Faisal of Saudi Arabia.”
– Encyclopaedia Britannica (Edisi 2025), entri: Faisal ibn Abdulaziz Al Saud.
The New York Times Archives, “Assassination of King Faisal Shocks Middle East,” 26 Maret 1975.

